Rabu, 09 November 2016

Mengapa Perlu Gerakan Literasi Sekolah ?


Penulis: Sofie Dewayani. Satgas Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Ketua Yayasan Litara


IT takes a village to raise a child. Pepatah Afrika itu menegaskan tugas pengasuhan anak ialah tanggung jawab masyarakat.
Jauh sebelum sekolah melembaga dalam kultur Indonesia, keluarga besar, tetangga, dan lingkungan masyarakat terdekat ikut mengawasi pertumbuhan seorang anak.
Tradisi itu membuat halaman rumah menjadi tempat bermain bersama dan ruang pengasuhan komunal.
Namun, pada era modern ini, tanggung jawab pengasuhan bergeser ke keluarga inti dan sekolah. Ruang komunal merambah dan difasilitasi ranah daring.
Ini terlihat dari sinergi antarelemen masyarakat yang berlangsung dalam ruang chat, media sosial, dan terbentuknya komunitas-komunitas daring yang peduli pendidikan.
Kepedulian bersama ini seharusnya menguatkan peran sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Penelitian Alan Barton (2003) membuktikan keterlibatan keluarga dan publik dalam mendukung sekolah mampu meningkatkan motivasi belajar anak, mempertahankan keajegan kehadiran siswa di sekolah, mengurangi tingkat drop out, dan meningkatkan prestasi akademik siswa.
Keberhasilan ini dialami siswa dari semua ras minoritas di sana sehingga partisipasi publik dalam pendidikan ditengarai mampu mengurangi kesenjangan pencapaian akademik antara mayoritas dan minoritas yang selalu menjadi momok pendidikan multikultural.
Penelitian ini juga menunjukkan dukungan publik dalam bentuk sumber daya untuk memfasilitasi kegiatan sekolah terbukti dapat meningkatkan kinerja sekolah dan motivasi belajar siswa.
Studi itu sangat kontekstual dengan kondisi pendidikan di Indonesia.
Banyak sekolah negeri berada di daerah terluar, daerah-daerah dengan akses terbatas pada infrastruktur publik, dan mengakomodasi siswa-siswa dari keluarga prasejahtera serta suku minoritas.
Fakta itu tentu tidak mengabaikan sekolah-sekolah negeri di kantung kemiskinan perkotaan dan daerah miskin lain yang masih berjibaku dengan kebutuhan mendasar, seperti ruang dan fasilitas belajar yang layak dan aman.
Dengan kompleksitas itu, gerakan literasi sekolah yang mengawal program membaca 15 menit setiap hari di sekolah terlihat seperti kebijakan yang utopis.
Bagaimana mungkin sekolah menyediakan ragam bacaan bagi guru dan siswa membaca setiap hari apabila sekolah masih berkutat dengan banyak permasalahan mendasar lainnya?
Data statistik menunjukkan hanya 5,7% sekolah di Indonesia–dari jenjang pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas– yang memiliki perpustakaan.
Itu pun dengan kondisi yang bervariasi; dari kondisi ruangan yang kurang memadai, koleksi yang hanya terdiri atas buku-buku teks pelajaran, hingga tiadanya tenaga pengelola perpustakaan atau pustakawan.
Selain itu, penggunaan 5% dana bantuan operasional sekolah (BOS) masih berfokus pada pengadaan buku teks pelajaran dan bukan pada buku bacaan yang mampu menumbuhkan minat baca siswa.
Fenomena itu menunjukkan penguatan budaya literasi di sekolah bukan hanya menjadi tanggung jawab kepala sekolah dan guru, melainkan juga tanggung jawab seluruh elemen publik sebagai ‘pengasuh’ anak dalam ruang komunal.
Dukungan ini menjadi penting karena Indonesia tengah mengalami darurat literasi.
Minat baca siswa perlu ditumbuhkan agar mereka mencintai pengetahuan.
Kemampuan membaca siswa perlu ditingkatkan bukan hanya untuk meningkatkan keterampilan memahami bacaan siswa Indonesia yang terpuruk pada peringkat 64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam tes Programme of International Student Assessment (PISA); tapi juga untuk menjadikan siswa sebagai pembelajar sepanjang hayat.
Meningkatkan kemampuan literasi siswa menjadi cara yang efektif untuk menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Dukungan publik
Pelibatan publik dalam gerakan literasi sekolah perlu menjadi bagian penting dari visi dan misi sekolah.
Praktik di banyak negara maju membuktikan reformasi pendidikan yang hanya mengintervensi siswa dan sekolah tidak akan berlanjut dalam jangka panjang.
Pelibatan publik dapat dilakukan melalui antara lain; program-program keayahbundaan (parenting), menyinergikan kegiatan belajar di sekolah dan di rumah, memperkuat komunikasi dan jejaring sekolah dengan pihak eksternal, menggalakkan program relawan, melibatkan elemen masyarakat dalam perencanaan kegiatan-kegiatan literasi sekolah, serta meningkatkan kolaborasi antarsekolah, alumni sekolah, dan komunitas pegiat literasi.
Program keayahbundaan bertujuan meningkatkan kapasitas orangtua sebagai figur teladan literasi.
Rumah perlu menjadi lingkungan yang literat dengan figur orangtua dan anggota keluarga yang suka membacakan cerita, bercerita, membaca, berdiskusi dengan anak, dan mendengarkan pendapat mereka.
Selain itu, kebijakan pelibatan keluarga dalam sekolah anak perlu mendapatkan dukungan melalui kebijakan-kebijakan yang ramah keluarga.
Misalnya, lembaga pemerintahan dan swasta perlu diimbau untuk memberikan izin khusus kepada orangtua yang bekerja untuk mengantar anak pada hari pertama tahun ajaran baru, menghadiri pertemuan-pertemuan orangtua, dan menjadi relawan dalam kegiatan-kegiatan sekolah.
Kesadaran akan pelibatan keluarga perlu menjadi semangat dalam perancangan kebijakan.
Misalnya, di beberapa negara bagian di Amerika Serikat, program pelibatan publik dan keluarga menjadi salah satu kriteria agar dana pengembangan pendidikan yang diajukan sekolah dapat disetujui.
Sinergi kegiatan belajar di rumah dan di sekolah bertujuan mencari titik temu kegiatan belajar di rumah dan di sekolah.
Sinergi bisa dilakukan dengan dua arah; siswa membawa pekerjaan sekolah untuk dikerjakan di rumah dengan dibantu orangtua, dan guru mengembangkan praktik baik di rumah untuk dilakukan di sekolah.
Ini bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bercerita atau menuliskan kegiatannya di rumah, atau orangtua diundang untuk bercerita dan menjadi relawan membaca di sekolah.
Praktik baik di rumah dapat dieksplorasi guru melalui kegiatan kunjungan ke rumah.
Untuk menjalin komunikasi dengan keluarga dan pelaku bisnis serta komunitas pegiat literasi, kapasitas sekolah perlu ditingkatkan.
Sekolah perlu menganalisis kebutuhan keluarga, minat, dan ide-ide mereka tentang pengembangan kegiatan literasi, serta mempertimbangkan kendala mereka dalam berpartisipasi di kegiatan sekolah.
Informasi ini perlu dipertimbangkan dalam menyusun program literasi sekolah.
Pendidik perlu mampu berkomunikasi dengan efektif, memahami bahasa lokal, dan menghargai latar belakang budaya keluarga.
Untuk melibatkan alumni, pelaku bisnis, dan komunitas pegiat literasi, sekolah perlu membangun sistem informasi tentang jejaring potensial dan selalu memublikasikan kegiatan literasi sekolah pada jejaring sosial.
Apabila perlu, sekolah dapat menugaskan liaison untuk menjalin relasi dengan pihak eksternal sekolah.
Kebijakan pendidikan perlu lebih memotivasi sekolah untuk melibatkan keluarga dan publik secara lebih kreatif.
Tentunya, upaya-upaya sinergis yang sudah berjalan perlu diapresiasi, dijadikan model, dan dikembangkan dengan lebih baik lagi.
Gerakan literasi sekolah tidak akan berlangsung dengan efektif tanpa dukungan masif dari publik.

Sumber : Antoro, Billy. 2016. Mengapa perlu Gerakan Literasi Sekolah?. mediaindonesia.com Online: < http://dikdasmen.kemdikbud.go.id/index.php/mengapa-perlu-gerakan-literasi-sekolah/ > diakses 1 Oktober 2016


Paradigma Baru Literasi

oleh : 
Tati D. Wardi 
Mahasiswi S3 Ohio State University


Pendidikan yang berporos pada kemampuan nalar belakangan menjadi isu yang gencar disuarakan para ahli pendidikan. Prof Iwan Pranoto, guru besar matematika Institut Teknologi Bandung, misalnya, dalam sejumlah tulisannya mengingatkan soal pendidikan bernalar. Kemampuan bernalar dalam konteks ini mencakup daya berpikir logis, keterampilan mengolah informasi dari bacaan, dan kemampuan menyimpulkan dengan pemikiran sendiri.

Dalam disiplin ilmu pendidikan, kemampuan nalar sejatinya bertaut erat dengan literasi. Perlu dicatat, konsep literasi di sini tak lagi dimaknai secara sempit yang terbatas pada kemampuan baca-tulis, tapi juga berkaitan dengan kemampuan memaknai teks, seperti huruf, angka, dan simbol kultural, seperti gambar dan simbol secara kritis.

Literasi dalam arti luas seperti ini sejatinya sudah cukup lama menjadi acuan UNESCO.  Ini bisa kita baca dari Literacy for Life, laporan UNESCO tahun 2006 tentang literasi dunia. Di situ dinyatakan, literasi adalah hak dasar manusia sebagai bagian esensial dari hak pendidikan. Terpenuhinya hak literasi memungkinkan kita mengakses sains, pengetahuan teknologi, dan aturan hukum, serta mampu memanfaatkan kekayaan budaya dan daya guna media. Singkatnya, literasi menjadi poros upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Karena itu, ia merupakan sumbu pusaran pendidikan. 

Untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia di bidang literasi ini, yang paling mendesak untuk dilakukan adalah merevisi paradigma usang literasi dan menggantinya dengan paradigma yang lebih merefleksikan kebutuhan berliterasi di era ketika siswa dikelilingi teks, informasi, dan gambar dari pelbagai penjuru. Upaya strategis yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan daya literasi Indonesia secara menyeluruh dan berkesinambungan adalah dengan memulainya dari pendidikan di sekolah. 

Negara dengan tingkat literasi tinggi, seperti Finlandia, Jepang, dan Amerika, secara sistematis menempatkan buku sebagai pusaran kegiatan pembelajaran. Di Amerika, misalnya, sejak jenjang pendidikan dini, anak diperkenalkan dengan konsep buku dan berdialog dengan teks dan gambar. Dengan dibantu guru, sejak belia siswa dibiasakan bertanya, termasuk pesan apa yang ingin disampaikan oleh pengarang buku. Mereka belajar berdialog dengan teks, bukan sekadar membaca sambil lewat.

Di jenjang sekolah dasar, siswa dikondisikan untuk belajar memperkaya kosakata dan menumbuhkan daya analisis mereka menggunakan bacaan berjenjang (leveled reading) yang disesuaikan dengan tingkat kognitif dan kematangan mereka. Bacaan berjenjang biasanya dibedakan seberapa kompleks bacaan (seperti kosakata, struktur, logika, dan konsep). Ketika di tingkat menengah, siswa akan terbiasa mendiskusikan buku beragam genre, dan teks beragam bentuk (seperti digital) dengan tingkat kesulitan sesuai dengan yang diharapkan di perguruan tinggi ataupun dengan kebutuhan literasi ketika mereka terlibat langsung dengan masyarakat luas. Pada akhirnya, keterbiasaan dengan buku akan menumbuhkan cinta mereka terhadap membaca. 

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kasus di atas?, Satu hal yang pasti: peningkatan literasi terkait erat dengan pengoptimalan peran buku. Fungsi buku dan teks bukan sekadar rujukan, tapi juga sebagai medium untuk berpikir kritis dengan cara mendiskusikan makna yang bukan sekadar permukaan. Pendidikan yang melibatkan buku dan bahan bacaan (lebih dari sekadar buku teks) sebagai sumber ajar akan memfasilitasi guru dan siswa dalam proses pembelajaran yang dialogis, aktif, dan kritis.

Buku tentu saja bukan satu-satunya faktor di sini. Peningkatan literasi siswa juga mengandaikan perlunya guru dipersiapkan untuk menanamkan pemahaman literasi dan mengajarkannya di kelas. Dengan begitu, siswa punya kesempatan meningkatkan daya literasi mereka di sekolah.

Korelasi antara literasi dan peran guru inilah yang menjadi salah satu temuan penelitian saya dua tahun lalu di Jakarta. Saya melibatkan mahasiswa calon guru di UIN Jakarta sebagai fokus penelitian. Mereka saya minta belajar memahami dan membaca buku dan teks dengan kritis. Ketika membaca buku berilustrasi, saya memperkenalkan konsep narasi dalam relasi teks dan gambar yang ada dalam suatu buku. Asumsinya, teks dan gambar sejatinya memiliki cara unik untuk menyampaikan cerita sesuai dengan yang diinginkan oleh pengarang. Saya meminta para mahasiswa calon guru tersebut lebih memperhatikan secara saksama pesan dalam teks, dan bagaimana pesan itu disampaikan, juga efek apa yang diinginkan terhadap pembaca. Hasilnya, mereka membaca dengan lebih kritis dan cenderung tidak menerima begitu saja informasi yang mereka baca. 

Paradigma baru literasi, yang tak lagi berpuas diri pada kemampuan baca-tulis, tapi juga peningkatan daya nalar siswa, tentunya mensyaratkan proses peningkatan literasi yang berkesinambungan, dari jenjang pendidikan dini hingga dewasa. Tak ada jalan pintas untuk itu. 

Sumber: 

Dipublikasikan oleh: TEMPO.CO. Sabtu, 30 November 2013. Jakarta ( http://www.tempo.co/read/kolom/2013/11/30/939/Paradigma-Baru-Literasi ) diakses 10 Okteber 2016



Home Industri Rexsove and Rangger Bag

Rexsove and Rangger Bag
Company

Salah satu dari sekian banyak home industri di kabupaten Kudus adalah Rexsove dan Rangger. Rexsove dan Rangger merupakan home industri yang memproduksi berbagai model tas sekolah dan tas kantor. 

Sejarah Singkat

Pertama kali didirikan pada tahun 2010 di Jl. Patimura Loram Wetan Rt: 04 Rw: III Kecamatan Jati Kudus. Home industri ini didirikan oleh Bapak Haryoto. Rexsove merupakan merk dagang tas pertama yang dipakai oleh home indusrti ini. Kemudian semakin berkembang dan membuat merk dagang ke 2 yaitu dengan nama Rangger. 

Pendiri Home Indusrtri 

Bapak Haryoto yang akrab disapa "Ayah" merupakan pendiri home industri Rexsove and Rangger Bag. Beliau merupakan seorang pensiunan PNS yang dulu pernah mengabdi di Kecamatan Karanganyar Kabupaten Demak. Beliau lahir di Demak dan sekarang kurang lebih telah berusia 60 tahun. Dalam menekuni usaha tersebut Ayah selalu mendapat dukungan dari keluarga tercinta. Ibu Sri Utami merupakan istri yang selalu mendukung dan menjadi partner Ayah dalam mengembangkan usaha tersebut. 

Home industri Rexsove dan Rangger Bag

Saat ini home industri tersebut kurang lebih memiliki 10 karyawan. Produk tas Rexsove dan Rangger sebagian besar dipasarkan di Kota Palembang. Sampai saat ini produk tas tersebut mampu memenuhi kebutuhan pasar di Kota Palembang. Produk tas yang dihasilkan diantaranya adalah tas sekolah, tas kantor, tas anak-anak dll. Produk tas Rexsove dan Rangger merupakan produk tas dengan harga terjangkau. Selain harganya yang terjangkau untuk kalangan masyarakat menengah kebawah, produk tas tersebut ternyata awet dan nyaman dipakai. Home industri Rexsove dan Rangger bag melayani penjualan secara grosir dan eceran, selain itu juga melayani pemesanan tas untuk keperluan seminar dan acara lain. Untuk mendapatkan produk tersebut, cukup dengan langsung datang ke tempat home industri Rexsove dan Rangger bag di Jl. Petimura Loram Wetan Rt: 04 Rw: III Jati Kudus atau dengan cara pemesanan melalui CP: 085729492466. 

Lowongan Pekerjaan

dibutuhkan: tenaga penjahit 

-Laki-laki/ Perempuan
-memiliki pengalaman menjahit tas
-bersedia belajar
-jujur

*bagi yang berminat, langsung datang ke Rexsove and Rangger bag Jl. Patimuta Loram Wetan Rt: 04 Rw: III Jati Kudus Cp: 085729492466


SMP favorit di Kabupaten Kudus

SMP 1 Kudus, SMP 2 Kudus, dan SMP 1 Jati Kudus, SMP tersebut merupakan SMP favorit yang memiliki berbagai prestasi dan menduduki peringkat 3 besar di Kabupaten Kudus. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kudus yang dipublikasikan MuriaNewsCom pada 17 Juni 2016, berdasarkan hasil Ujian Nasional (UN) untuk peringkat pertama adalah SMP 1 Kudus dengan jumlah nilai 343,83, peringkat ke-dua adalah SMP 2 Kudus dengan jumlah nilai 305,15 dan untuk peringkat ke-tiga yaitu SMP 1 Jati Kudus dengan jumlah nilai 289,31. Menurut Joko Susilo (Kepala Disdikpora Kudus) mengatakan bahwa ketiga sekolah tersebut memang menjadi sekolah unggulan dan sudah beberapa kali mendapatkan perolehan nilai terbaik dalam UN (Hadi, 2016: 1). Berdasarkan data tersebut tentunya SMP 1 Kudus, SMP 2 Kudus dan SMP 1 Jati Kudus memiliki prestasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan SMP lain di Kabupaten Kudus.

Sumber:

Hadi, Faisol. 2016. “Ini 3 SMP di Kudus yang Peroleh Nilai UN Terbaik”. Kudus: MuriaNews.com Sumber < http://www.murianews.com/2016/06/17/86201/ini-3-smp-di-kudus-yang -peroleh-nilai-un-terbaik.html > diakses 12 September 2016